Nama :
Ulva Khairani
Kelas :
1 PA 09
NPM :
19513050
1. Kasus
Bercerita Ternyata Bisa Membuat Anak
Jadi Lebih Kreatif
Bu Ninik kesulitan mengajak anaknya,
Rendy (5 tahun) untuk mendengarkan cerita yang ia bacakan. Rendy lebih suka
berlarian dan hanya di awal-awal saja ia mau memperhatikan. Bu Ninik
menggunakan strategi yang ia peroleh dari sebuah talkshow tentang bercerita,
yaitu dengan mengajak anak membuat cerita bersambung, membawakan cerita secara bergantian
setiap satu atau dua kalimat. Setelah beberapa hari kebiasaan ini dilakukan,
anak jadi suka melengkapi cerita, baik dari Bu Ninik maupun yang ia saksikan di
televisi. Apa sebenarnya yang terjadi pada Rendy? Iya, kreativitas yang
meningkat karena cerita.
Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Ratih
Widyastuti Permatasari atau Kak Iputmenunjukkan bahwa
bercerita dapat meningkatkan kreativias. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan menceritakan gambar, kreativitas anak TK B,
usia 5-6 tahun, mengalami peningkatan signifikan. Senada dengan penelitian yang
dilakukan oleh Susilowati (2010), mahasiswa jurusan Pendidikan Anak Usia Dini,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Penelitiannya menunjukkan hasil yang sama, yaitu peningkatan kreativitas yang
signifikan pada anak TK B.
2. Teori dan Analisis Kasus
Kreativitas seseorang untuk dapat terwujud membutuhkan adanya dorongan dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dorongan dari lingkungan
(motivasi ekstrinsik). Menurut hasil penelitian kasus diatas,
kreativitas seorang anak akan meningkat apabila dia diberi kebebasan untuk
menceritakan berbagai macam gambar dengan kemampuan mereka sendiri daripada mendengarkan
orang tua atau orang lain menceritakan sebuah cerita untuk dirinya.
Dalam kasus
tersebut dijelaskan bahwa cerita dapat meningkatkan kreativias anak. Setidaknya
ada tiga hal yang membuat anak menjadi kreatif jika orang tua atau pendamping terbiasa
menyajikannya kepada anak.
1.
Cerita bekerja dengan menyentuh bawah sadar
Pernah mengalami anak tidak mau mandi
ketika kita suruh? Iya, perilaku negatifistik itu ada pada diri setiap orang,
lebih-lebih pada anak. Apa yang kita larang, itu yang justru dilakukan, begitu
juga sebaliknya.
Perintah menantang kesadaran karena
langsung menantang kesiapan anak. Sebaliknya, cerita tidak mengajak kesadaran
berhadapan, tetapi bersahabat dengannya. Akibatnya, apa yang diceritakan akan
gampang menembusnya dan menyentuh wilayah bawah sadar anak. Wilayah bawah sadar
yang lebih sering terkelola akan meningkatkan cara berpikir yang berbeda, yang
artinya dapat meningkatkan kreativitas.
2.
Cerita hadir dengan bahasa deskriptif
Bahasa cerita punya kekhasan tersendiri
yang dibandingkan dengan bahasa penjelasan atau bahasa perintah. Bahasa
deskriptif menjaga sistem diri anak tetap terbuka.
Setiap dari kita punya sistem yang
menjaga keyakinan, mempengaruhi cara berpikir, merasa dan perilaku kita. Jika
anak dibiasakan mendapatkan penjelasan atau bahkan perintah, maka mereka tidak
diberikan pilihan-pilihan. Karena bersifat mengarahkan, jika dilakukan
terus-menerus, akan membunuh kreativitasnya secara perlahan dan pasti. Bahasa
deskriptif tetap memberikan kebebasan bagi anak, membiarkan mereka merancancang
sikap dan perilaku serta membuat keputusan. Jika cara ini dibiasakan, maka
kreativitas anak juga akan meningkat.
3.
Cerita mengajak berimajinasi secara nyata
Menarik, ada istilah ‘berimajinasi
secara nyata’. Seperti bertentangan ada istilah ‘imajinasi’ dan ada ‘nyata’.
Memang ada dua hal bertentangan sekaligus dalam satu hal, atau yang biasa
disebut paradoks. Pernah mendengar dongeng tentang Putri Salju, Ciung Wanara,
atau Thumbelina? Itu semua dongeng imajinatif, tapi nyata dalam pikiran kita.
Anak yang mendengarkan cerita akan
menjadi lebih kreatif. Imajinasi punya kelenturan untuk dibuat apa saja.
Pikiran yang terbiasa medapatkan stimulus imajinatif akan lebih sering bekerja
untuk mengelola daripada yang selalu diberikan hal yang nyata. Jika pikiran
kita sering melakukan pengelolaan, maka kreativitasnya juga meningkat.
Jadi kasus diatas berhubungan dengan teori pendorong yaitu mengenai
kebebasan psikologis. Orang tua atau guru mengizinkan atau memberi kesempatan kepada anak untuk bebas mengekspresikan secara symbolis pikiran atau perasaannya (permissiveness)
dengan memberi anak kebebasan dalam berfikir atau merasa sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya dengan
mengekspresikan apa yang dilhatnya dengan cara menceritakannya kepada
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar